Translate
Posted by : Mukty Ginanjar Nurfalah
Rabu, 15 Maret 2017
Proxy war atau secara lebih spesifik ‘proxy sectarian war’ perang proxy karena
sektarianisme keagamaan. Secara singkat, ‘proxy war’ adalah ‘perang boneka di
antara dua negara atau lebih tanpa melibatkan secara langsung negara-negara
atau warga negara itu sendiri dalam perang terbuka di antara mereka. Perang
justru terjadi dan berkobar di negara atau wilayah lain di antara kelompok pro
dan anti masing-masing negara yang menjadi semacam ‘boneka’ karena mendapat
bantuan dana, pelatihan dan persenjataan dari negara-negara yang bertarung.
Oleh karena itu, lazimnya proxy war terjadi
dan sering berlangsung lama bukan di negara yang berkontestasi. Biasanya
proxy war terjadi di wilayah lain di luar kedua negara yang saling bermusuhan
dan ingin menghancurkan lawannya.
Isyu proxy war menyelinap ke dalam pikiran
penulis Resonansi ini ketika dalam beberapa konperensi dan seminar di tanahair
yang diselenggarakan perguruan tinggi dan ormas Islam mendapat pernyataan dan
pertanyaan berbau sektarianisme bernada perang tentang ‘bahaya’ Syi’ah di
Indonesia. Dengan nada seperti itu, komunitas-komunitas agama berbeda,
khususnya Islam Indonesia sudah dekat pada proxy war.
Kecenderungan meningkatnya pernyataan dan
pertanyaan tentang subyek ini terlihat di tanahair sedikitnya dalam masa
sepuluh tahun terakhir. Peningkatan itu juga lebih jelas bisa disimak di dunia
maya. Banyak sekali situs memprovokasi umat beragama melakukan tindakan yang
tidak lain adalah proxy
war.
Nada proxy war bahkan sempat menyelinap dalam percakapan
di sela-sela Muktamar NU dan Muktamar Muhammadiyah awal Agustus 2015. Meski pimpinan
utama kedua ormas Islam telah dan terus menekankan pentingnya dialog dan
rekonsiliasi Sunni-Syiah, tetap saja ada segelintir orang yang berbicara dengan
nada proxy war.
Peningkatan sektarianisme bersemangat proxy war dewasa
ini terkait banyak dengan terus meningkat kontestasi politik, ekonomi dan agama
di antara Arab Saudi dengan Iran. Kontestasi ini bukan hal baru karena kedua
negara telah terlibat dalam perebutan pengaruh selama lebih dari 30 tahun tidak
hanya di Dunia Arab dan Asia Selatan atau Asia Barat Daya, tetapi juga di
banyak bagian lain Dunia Islam, dan bahkan juga di antara komunitas Muslim yang
berbeda etnis, tradisi sosial-budaya dan paham keislaman di Eropa dan Amerika
Utara.
Pertarungan di antara kedua negara yang
menghasilkan proxy
warsdi Timur Tengah dan
Asia Selatan-Barat dalam masa kontemporer bermula sejak masa sukses revolusi
Ayatullah Khomeini di Iran pada 1979. Keberhasilan ini mendorong pemerintah dan
lembaga Iran mengekspor paham dan gerakan Syiah revolusioner guna menumbangkan
rejim otokratik dan despotik di wilayah Dunia Muslim lain.
Pada saat berbarengan Arab Saudi bangkit
menjadi negara kaya ‘petro-riyal’ berkat eksploatasi minyak besar-besaran sejak
akhir 1970an. Dengan dana melimpah, Saudi tidak hanya menjadi salah satu negara
terkuat di Timur Tengah, tetapi juga meningkatkan usaha penyebaran paham dan
praksis Wahabisme di wilayah Dunia Muslim lain dan di kalangan komunitas Muslim
di Barat.
Upaya kedua negara ini dalam penyebaran paham
dan praksis Islam masing-masing ke lingkungan kaum Muslimin lain dapat dilihat
dengan peningkatan bantuan dana untuk pembangunan masjid, Islamic Center,
Sekolah dan Perguruan Tinggi dan Pusat Bahasa dan Kebudayaan; penyediaan
beasiswa untuk belajar di Saudi atau Iran; pengadaan literatur untuk
perpustakaan; penyelenggaraan konperensi atau seminar dan seterusnya. Melalui
berbagai program dan kegiatan semacam itu, kelompok-kelompok Muslim yang pro
dan anti masing-masing negara juga menguat—meningkatkan pertarungan Syiah
versus Wahabisme.
Upaya akselarasi penyebaran kedua aliran ini
mengalami kemunduran (setback) dengan terjadinya peristiwa besar seperti 9/11 pada 2001 di
Amerika Serikat yang diikuti penyerbuan Afghanistan oleh AS dan sekutunya untuk
menghabisi Taliban yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ‘Nine-Eleven’.
Afghanistan yang sejak masa pendudukan Uni Soviet paroan kedua dasawarsa
1980-an menjadi ajang proxy
wars di antara komunitas agama berbeda yang mewakili
kepentingan sektarianisme keagamaan di negara-negara lain. Akibatnya sampai
sekarang Afghanistan masih terjerumus dalam lubang kelam tanpa dasar (abyss).
Ambruknya negara-negara kuat di Dunia Arab
dan sejak jatuhnya Presiden Saddam membukakan ‘kotak pandora’ sektarianisme
keagamaan sangat kompleks dan rumit. Ada konflik antara Sunni dan Syiah dan
antara berbagai aliran Sunni atau Syiah. Sektarianisme keagamaan yang bersumber
terutama dari kontestasi politik kian bernyala-nyala terkait pengalaman
historis panjang konflik dan perang yang diberi justifikasi pemahaman dan
praksis keagamaan tertentu.
Situasi kacau seperti itu memudahkan masuknya
‘tangan-tangan’ negara lain yang menggunakan berbagai pihak terlibat konflik
untuk kepentingan politiknya. Hasilnya adalah proxy wars yang terus berlanjut,
yang melibatkan kelompok radikal semacam Hizbullah di Lebanon, Hamas di
Palestina, al-Qaedah dan terakhir sekali ISIS.
Catatan : Apakah Indonesia bisa terjerumus ke dalam proxy
war seperti terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di Timur
Tengah dan Asia Selatan-Barat?
- Home>
- Wawasan Kebangsaan >
- Proxy War