Translate
Masa Perjuangan Pergerakan Nasional
Sejarah perjuangan pergerakan nasional dimulai sebagai
babakan baru dengan lahirnya gerakan “BOEDI OETOMO” pada tanggal 20 Mei 1908
oleh para mahasiswa STOVIA Jakarta. BOEDI OETOMO merupakan wadah pergerakan
kebangsaan yang kemudian menentukan perjuangan nasional selanjutnya. Dengan
lahirnya gerakan ini, maka terdapat cara dan kesadaran baru dalam kerangka
perjuangan bangsa menghadapi kolonial Belanda dengan membentuk organisasi
berwawasan nasional. Organisasi ini merupakan salah satu upaya nyata untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan dan selanjutnya terbentuklah
berbagai organisasi perjuangan yang lain, seperti Syarikat Dagang Islam,
Indische Partij dan lain sebagainya.
Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1908
mendirikan Indische Verenigde (VI) yang berubah menjadi Perkoempoelan Indonesia
(PI), kemudian pada tahun 1922 berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia
(PI). Sejak itu hingga tahun 1924 PI tegas menuntut kemerdekaan Indonesia,
hingga pada dekade ini, para pemuda mahasiswa Indonesia yang belajar di luar
negeri telah membuka lembaran baru bangsa Indonesia untuk memperoleh
kemerdekaan Indonesia melalui forum luar negeri.
Perhimpoenan Indonesia (PI-1922), Perhimpoenan
Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI-1926) dan Pemoeda Indonesia (1927) merupakan
organisasi pemuda dan mahasiswa yang memiliki andil besar dalam merintis dan
menyelenggarakan Kongres Pemoeda Indonesia tahun 1928, kemudian tercetuslah
“Soempah Pemoeda”. Dengan demikian, semangat persatuan dan kesatuan semakin
kuat menjadi tekad bagi setiap pemuda Indonesia dalam mencapai cita-cita
Indonesia merdeka.
Masa Pendudukan Jepang
Tekanan pemerintah Jepang mengakibatkan aktifitas pemuda
dan mahasiswa menjadi terbatas, bahkan menjadikan mereka berjuang di bawah
tanah. Sekalipun demikian para pemuda mahasiswa mampu mengorganisir dirinya
dengan mengadakan sidang pertemuan pada tanggal 3 Juni 1945 di Jl. Menteng 31
Jakarta, dengan menghasilkan keputusan bahwa pemuda mahasiswa bertekad dan
berkeinginan kuat untuk merdeka dengan kesanggupan dan kekuatan sendiri.
Keputusan tersebut kemudian dikenal dengan Ikrar Pemoeda 3 Joeni 1945.
Menjelang Jepang terpuruk kalah tanpa syarat dalam Perang Dunia II,
untuk memperkuat posisinya di Indonesia, Jepang melatih rakyat dengan latihan
kemiliteran. Tidak ketinggalan pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pasukan pelajar
dan mahasiswa yang dibentuk oleh Jepang disebut dengan “GAKUKOTAI”.
Masa Kemerdekaan
Meskipun
kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan, keikutsertaan pemuda dan mahasiswa
terus berlanjut dengan perjalanan sejarah TNI. Tanggal 23 Agustus 1945, PPKI
membentuk BKR. Di lingkungan pemuda dan mahasiswa dibentuk BKR Pelajar. Setelah
mengikuti kebijakan Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, maka diubah menjadi TKR,
sedangkan di lingkungan pelajar dan mahasiswa diubah menjadi TKR Pelajar.
Pada tanggal 24
Januari 1946 TKR diubah lagi menjadi TRI. Untuk mengikuti kebijakan Pemerintah
ini, pada kesekian kalinya, laskar dan barisan pemuda pelajar dan mahasiswa
mengubah namanya. Nama- nama tersebut menjadi bermacam-macam antara lain: TRIP,
TP, TGP, MOBPEL dan CM.
Pada tanggal 3 Juni 1946, Presiden RI telah mengambil
keputusan baru untuk mengubah TRI menjadi TNI. Keputusan ini dimaksudkan agar
dalam satu wilayah negara kesatuan, yaitu tentara nasional hanya mengenal satu
komandan. Dengan demikian maka laskar dan barisan pejuang melebur menjadi satu
dalam TNI. Sementara itu laskar pelajar dan mahasiswa disatukan dalam wadah
yang kemudian dikenal sebagai “Brigade 17/TNI-Tentara Pelajar”. Peleburan
badan-badan perjuangan di kalangan pemuda pelajar dan mahasiswa ini merupakan
manifestasi dari semangat nilai-nilai persatuan dan kesatuan, kemerdekaan serta
cinta tanah air, dalam kadarnya yang lebih tinggi. Semangat berjuang, berkorban
dan militansi untuk mencapai cita-cita luhur dan tinggi, merupakan motivasi
pemuda pelajar dan mahasiswa yang tidak pernah padam hingga sekarang, yaitu
dengan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional.
Masa Penegakan Kedaulatan Republik
Indonesia
Dengan diakuinya kedaulatan Negara Kesatuan RI sebagai
hasil keputusan Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949 di Den Haag, maka
perang kemerdekaan yang telah mengorbankan jiwa raga dan penderitaan rakyat
berakhir sudah. Karenanya Pemerintah memandang perlu agar para pemuda pelajar
dan mahasiswa yang telah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan, dapat
menentukan masa depannya, yaitu perlu diberi kesempatan untuk melanjutkan tugas
pokoknya, “BELAJAR”. Sehingga pada tanggal 31 Januari 1952 Pemerintah
melikuidasi dan melakukan demobilisasi Brigade 17/TNI-Tentara Pelajar. Para
anggotanya diberi dua pilihan, terus mengabdi sebagai prajurit TNI atau
melanjutkan studi.
Kondisi sosial ekonomi dan politik di dalam negeri sebagai
akibat dari pengerahan tenaga rakyat dalam perang kemerdekaan, dianggap
perlu diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang. Maka dikeluarkanlah UU Nomor
29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. Pada dekade 1950-an, ternyata
perjalanan bangsa dan negara ini mengalami banyak ancaman, tantangan, hambatan
dan gangguan. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi di tengah-tengah
perjuangan untuk membangun dirinya. Pemberontakan itu antara lain DI/TII,
pemberontakan Kartosuwiryo dan sebagainya. Pemberontakan meminta banyak korban
dan penderitaan rakyat banyak. Rakyat tidak bisa hidup dengan tenang, karena
situasi tidak aman dan penuh kecemasan.
Memperhatikan kondisi semacam itu, satu tradisi lahir
kembali. Para mahasiswa terjun dalam perjuangan bersenjata untuk ikut serta
mempertahankan membela NKRI bersama-sama ABRI. Sebagai realisasi pelaksanaan UU
Nomor 29 Tahun 1954, diselenggarkan Wajib Latih di kalangan mahasiswa dengan
pilot proyek di Bandung pada tanggal 13 Juni 1959, yang kemudian dikenal dengan
WALA 59 (Wajib Latih tahun 1959). WALA 59 merupakan batalyon inti mahasiswa
yang merupakan cikal bakal Resimen Mahasiswa sekarang ini. Kemudian disusul
Batalyon 17 Mei di Kalimantan Selatan. Bermula dari itulah, pada masa demokrasi
terpimpin dengan politik konfrontasi dalam hubungan luar negeri, telah
menggugah semangat patriotisme dan kebangsaan mahasiswa untuk mengabdi kepada
nusa dan bangsa sebagai sukarelawan. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan
kemiliteran selanjutnya dilaksanakan untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai
potensi pertahanan dan keamanan negara melalui RINWA (Resimen Induk Mahasiswa),
yang selanjutnya namanya berubah menjadi MENWA (Resimen Mahasiswa).
Masa Orde Lama
Persiapan perebutan Irian Barat ditandai dengan upaya-upaya
memperkuat kekuatan nasional. Di lingkungan mahasiswa dikeluarkan Keputusan
Menteri Keamanan Nasional Nomor: MI/B/00307/61 tentang Latihan Kemiliteran di
perguruan tinggi sebagai “Pendahuluan Wajib Latih Mahasiswa”. Dengan
dicanangkannya operasi pembebasan Irian Barat pada tanggal 19 Desember 1962,
dikenal dengan TRIKORA, maka untuk menindaklanjutinya, Menteri PTIP
mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 1962 tentang Pembentukan Korps Sukarelawan
di lingkungan Perguruan Tinggi. Berikutnya, kedua keputusan di atas disusul
dengan Keputusan Bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP Nomor: M/A/20/1963
tanggal 24 Januari 1963 tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan Pembentukan Resimen
Mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi. Pengembangannya dilakukan dalam
satuan-satuan Resimen Induk Mahasiswa (RINWA), yang diatur dalam Keputusan
Bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP Nomor: 14A/19-20-21/1963 tentang Resimen
Induk Mahasiswa.
Tahun 1964 melalui Instruksi Menko Hankam/Kasab Nomor:
AB/34046/1964 tanggal 21 April 1964 dilakukan pembentukan Menwa di tiap-tiap
Kodam. Hal ini dipertegas dengan Keputusan Bersama Menko Hankam/Kasab dan Menteri
PTIP Nomor: M/A/165/1965 dan Nomor: 2/PTIP/65 tentang Organisasi dan
Prosedur Resimen Mahasiswa, Menwa ikut serta mendukung operasi Dwikora (Dwi
Komando Rakyat) tanggal 14 Mei 1964. Sebagai bukti keikutsertaan ini dapat
diketahui bahwa hingga tanggal 20 Mei 1971, sebanyak 802 (delapan ratus dua)
orang anggota Menwa memperoleh anugerah “Satya Lencana Penegak” dan beberapa
memperoleh anugerah “Satya Lencana Dwikora”.
Dalam perkembangan
sejarah selanjutnya, di mana Menwa memiliki andil yang besar dalam membantu
menegakkan NKRI, maka PKI (Partai Komunis Indonesia) merasakan ancaman,
sehingga pada tanggal 28 September 1965, Ketua PKI D.N. Aidit menuntut kepada
Presiden Soekarno supaya Resimen Mahasiswa yang telah dibentuk di seluruh
Indonesia dibubarkan. Tetapi hal itu tidak berhasil.
Masa Orde Baru
Peran Resimen
Mahasiswa terus berlanjut dalam bidang Pertahanan Keamanan Negara, sekalipun
tantangan juga semakin besar. Pada masa awal Orde Baru, keterlibatan Menwa
cukup besar dalam penumpasan sisa-sisa G 30 S/PKI, dilanjutkan dengan menjadi
bagian dari Pasukan Kontingen Garuda ke Timur Tengah, operasi teritorial di
Timor Timur dan sebagainya. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dasar
kemiliteran untuk menciptakan kader dan generasi baru bagi Menwa juga terus
dilaksanakan.
Di lain pihak, di lingkungan Perguruan Tinggi pada tahun
1968 dikeluarkan keputusan untuk wajib latih bagi mahasiswa (WALAWA) dan wajib
militer bagi mahasiswa (WAMIL) berdasarkan Keputusan Menhankam Nomor:
Kep/B/32/1968 tanggal 14 Februari 1968 tentang Pengesahan Naskah Rencana
Realisasi Program Sistem Wajib Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa.
Dilanjutkan operasionalisasinya dengan Keputusan Bersama Dirjen Dikti dan Kas
Kodik Walawa Nomor 2 Tahun 1968 dan Nomor: Kep/002/SKW-PW/68. Program ini
kemudian diganti dengan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan
(PACAD) pada tahun 1973 (Keputusan Bersama Menhankam/Pangab dan Menteri P &
K Nomor: Kep/B/21/1973 dan Nomor: 0228/U/1973 tanggal 3 Desember 1973 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan di
Perguruan Tinggi/Universitas/Akademi). Program WALAWA ini diikuti oleh seluruh
mahasiswa dan berbeda dengan Menwa keberadaannya.
Pada tahun
1974 Program WALAWA dibubarkan, dan pada tahun 1975 sejalan dengan perkembangan
dan kemajuan penyempurnaan organisasi Menwa terus diupayakan. Setelah
dikeluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Mendikbud dan Mendagri Nomor:
Kep/39/XI/1975, Nomor: 0246 a/U/1975 dan Nomor: 247 Tahun 1975 tanggal 11
November 1975 tentang Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa Dalam Rangka
Mengikutsertakan Rakyat Dalam Pembelaan Negara, disebutkan bahwa Resimen
Mahasiswa dibentuk menurut pembagian wilayah Propinsi Daerah Tingkat I sehingga
berjumlah 27 Resimen Mahasiswa di Indonesia. Sedangkan keanggotaan Menwa adalah
mahasiswa yang telah lulus pendidikan Menwa (latihan dasar kemiliteran) dan
Alumni Walawa.
Sebagai pelaksanaan
ketentuan tersebut di atas, dikeluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab,
Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/02/I/1978, Nomor: 05/a/U/1978 dan Nomor: 17A
Tahun 1978 tanggal 19 Januari 1978 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan
Organisasi Resimen Mahasiswa, hingga kemudian dalam perkembangannya dilakukan
lagi penyempurnaan peraturan pada tahun 1994.
Pada tanggal 28 Desember 1994 Organisasi Menwa mengalami
penyempurnaan melalui Keputusan Bersama Menhankam, Mendikbud dan Mendagri
Nomor: Kep/11/XII/1994, Nomor: 0342/U/1994 dan Nomor: 149 Tahun 1994 tanggal 28
Desember 1994 tentang Pembinaan dan Penggunaan Resimen
Mahasiswa Dalam Bela Negara. Sebagai pelaksanaan ketentuan
tersebut dikeluarkan serangkaian keputusan pada Direktur Jenderal terkait dari
ketiga Departemen Pembina, yang terdiri atas Keputusan Dirjen Persmanvet
Dephankam RI Nomor: Kep/03/III/1996 tanggal 14 Maret 1996 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Resimen Mahasiswa, Nomor: Kep/04/III/1996
tanggal 14 Maret 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pakaian Seragam, Tunggul dan
Dhuaja Menwa dan Pemakaiannya dan Nomor: Kep/05/III/1996 tanggal 14 Maret 1996
tentang Peraturan Disiplin Resimen Mahasiswa. Serta Keputusan Dirjen Dikti
Depdikbud RI Nomor: 522/Dikti/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan
Satuan Resimen Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Masa Reformasi
Pada masa
reformasi yang salah satu agendanya adalah penghapusan Dwi Fungsi TNI, berimbas
pada keberadaan Resimen Mahasiswa Indonesia, karena Menwa dianggap merupakan
perpanjangan tangan TNI di lingkungan perguruan tinggi. Kemudian muncul
tuntutan pembubaran Menwa di berbagai perguruan tinggi pada awal tahun 2000,
namun Menwa tetap eksis hingga sekarang.
Menyikapi tuntutan
tersebut, para Pimpinan Menwa di berbagai daerah baik Komandan Satuan maupun
Kepala Staf Resimen Mahasiswa mengadakan berbagai koordinasi tingkat regional
dan nasional, antara lain dilaksanakan di Bandung, Yogyakarta, Bali dan
Jakarta.
Para Pembantu Rektor III
Bidang Kemahasiswaan yang dikoordinasikan oleh Dirmawa Ditjen Dikti Depdiknas
juga membentuk tim untuk membahas masalah Menwa dan mengadakan pertemuan di
Yogyakarta, Jakarta dan terakhir di Makassar pada awal sampai pertengahan tahun
2000.
Pada akhir
September 2000 diadakan Rapat Koordinasi antara tim PR III Bidang Kemahasiswaan
dengan seluruh Kepala Staf Resimen Mahasiswa se-Indonesia di Asrama Haji Pondok
Gede, Jakarta Timur yang menghasilkan rancangan Keputusan Bersama 3 Menteri (Menhan,
Mendiknas dan Mendagri) yang baru.
Pada tanggal 11 Oktober 2000 diterbitkan Keputusan Bersama
Menhan, Mendiknas dan Mendagri & OtdaNomor: KB/14/M/X/2000, Nomor:
6/U/KB/2000 dan Nomor: 39 A Tahun 2000 tanggal 11 Oktober 2000 tentang
Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa. Sebagai penjabaran ketentuan dari
KB 3 Menteri tersebut, dikeluarkan serangkaian surat dari Dirjen terkait dari 3
Departemen Pembina, yakni: Surat Mendagri & Otda RI Nomor: 188.42/2764/SJ
tanggal 23 Nopember 2000 tentang Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri
Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Surat Edaran
Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 212/D/T/2001 tanggal 19 Januari 2001 tentang
Tindakan Keputusan Bersama Tiga Menteri, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan
RI Nomor: ST/02/I/2001 tanggal 23 Januari 2001 tentang Kedudukan Resimen
Mahasiswa, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan RI Nomor: ST/03/2001 tanggal 9
Februari 2001, Surat Telegram Dirjen Pothan Dephan RI Nomor: ST/06/2001 tanggal
18 Juli 2001 dan Surat Dirjen Kesbangpol Depdagri RI Nomor: 340/294.D.III
tanggal 28 Januari 2002.
Para Kepala Staf Resimen Mahasiswa se-Indonesia terus
mengadakan berbagai pertemuan yang akhirnya bersepakat perlu adanya organisasi
Menwa di tingkat Nasional sehingga terbentuk Badan Koordinasi Nasional Corps
Resimen Mahasiswa Indonesia (BAKORNAS CRMI), yang disahkan keberadaannya pada
Rapat Komando Nasional yang pada waktu itu karena ingin menyesuaikan dengan
tuntutan reformasi maka diberi nama menjadi Kongres Resimen Mahasiswa Indonesia
tahun 2002 di Medan.
Walaupun arah pembinaan
dan pemberdayaan Menwa menjadi kurang optimal dengan belum terbitnya Petunjuk
Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) dari KB 3 Menteri tersebut di
atas, pengabdian Menwa terus berlanjut. Salah satunya adalah sebagai pelopor
pembentukan posko relawan kemanusiaan yang dikoordinasikan oleh Dephan RI untuk
bencana Tsunami Aceh pada akhir Desember 2004 sampai dengan pertengahan 2005.
Demikian juga ketika terdapat bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006,
Menwa dari berbagai daerah juga mengirimkan relawannya.
Dalam perkembangan terakhir,
BAKORNAS CRMI dirasa kurang efektif karena berbagai kendala teknis. Dan dalam
Rakomnas (Rapat Komando Nasional) Resimen Mahasiswa Indonesia di Jakarta pada
tanggal 24-26 Juli 2006 yang dihadiri oleh pimpinan Komando Resimen Mahasiswa
Indonesia tingkat propinsi dan pimpinan Komandan Satuan Perguruan Tinggi dari
seluruh Indonesia, BAKORNAS CRMI di bubarkan dan dibentuk badan tingkat
nasional baru yakni Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia atau disingkat
KONAS MENWA INDONESIA, sebagai lembaga kepemimpinan struktural Menwa di tingkat
nasional. Lembaga baru ini kian eksis hingga saat ini setelah mampu mendorong
kembali pelaksanaan latsarmil, dan pendidikan lanjutan bagi anggota Menwa,
serta menghidupkan kembali satuan-satuan Menwa yang vakum serta membangun Staf
Komando Resimen (SKOMEN) Menwa di provinsi-provinsi baru. KONAS MENWA INDONESIA
juga melakukan terobosan baru dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
tingkat nasional serta memperkuat aspek legalitas MENWA Indonesia, antara lain
dengan mengeluarkan berbagai Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) seperti Juklak
pembinaan dan Perberdayaan Resimen Mahasiswa Indonesia, Juklak Pendidikan dan Latihan
Resimen Mahasiswa Indonesia, Juklak Peraturan Disiplin Resimen Mahasiswa
Indonesia, sambil memproses revisi SKB 3 Menteri menjadi SKB 4 Menteri,
termasuk melaksanakan berbagai kegiatan sebagai mana dituangkan dalam buku
profil ini. Hingga saat ini KONAS MENWA INDONESIA merupakan struktur organisasi
tertinggi Resimen Mahasiswa Indonesia dalam hal koordinasi serta komando
organisasi Menwa di tingkat nasional.